Scroll untuk baca artikel
Example 728x250
Nasional

Memperkosa Anak Kandung,Koalisi Masyarakat Sipil Mataram Tolak Penangguhan Penahanan AA

buserdirgantara7
201
×

Memperkosa Anak Kandung,Koalisi Masyarakat Sipil Mataram Tolak Penangguhan Penahanan AA

Sebarkan artikel ini
Img 20210316 Wa0022

Dirgantara7.com//Mataram Koalisi Masyarakat Sipil Mataram menanggapi informasi pemberitaan terkait rencana Polresta Mataram yang akan menghentikan perkara dugaan pencabulan anak kandung oleh tersangka AA (mantan anggota DPRD NTB) melalui keadilan restoratif dan telah ditangguhkan penahanannya. Secara tegas Koalisi menentang rencana tersebut dan meminta agar penangguhan penahanan terhadap AA di cabut dengan beberapa alasan.

Pertama, tersangka AA diduga telah melakukan pencabulan terhadap anak kandungnya WM (17 tahun) pada hari Senin, (18/01) sekitar pukul 15.00 WITA, bertempat di rumah tempat tinggal anak korban di Sekarbela Kota Mataram. Selanjutnya dilakukan visum pada bagian intim korban Yang hasilnya ada luka robek baru tidak beraturan, telah dilakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang saksi dan berdasarkan hasil keterangan Pengacara korban, AA juga pernah melakukan perbuatan cabul pada kakak korban, “ungkap pers Koalisi Masyarakat Sipil Mataram yang beranggotakan Solidaritas Perempuan (SP) Mataram, LPA Kota Mataram, Relawan Sahabat Anak, BKBH Fakultas Hukum Unram, PBH Mangandar, disampaikan oleh perwakilan koalisi dari SP Mataram, Nurul Utami, Minggu (14/03)

Dijelaskan dalam keterangan pers tersebut, bahwa atas dugaan perbuatan cabul yang dilakukan oleh tersangka AA tersebut dikenakan pasal 82 (Ayat 2) UU No 17 Tahun 2016 tentang penetapan Perppu No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23 2002 Jo pasal 76 E UU No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, ancaman pidana penjara maksimal 15 tahun dan ditambah 1/3 dari ancaman pidana pokok karena Pelaku adalah orang tua kandung dari korban.

Bahwa berdasarkan uraian angka 1 dan 2, maka yang terkait dengan rencana akan dilaksanakan keadilan restoratif (RJ) dalam perkara ini sepatutnya dibatalkan atau tidak perlu dicela sama sekali, hal tersebut karena bertentangan dengan Peraturan Kapolri No 6 Tahun 2019 tentang penyidikan Tindak pidana Pasal 12 Huruf a infestasi dalam penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif, syarat terpenuhi syarat Materil yaitu tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan masyarakat dan ditentukan prinsip pembatas, “lanjut siaran pers tersebut.

Keadilan restoratif dilakukan pada tindak pidana dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebelum SPDP dikirim ke Penutut Umum. Selain bertentangan dengan Peraturan Kapolri menurut mereka ini juga bertentangan dengan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Restoratif pasal 5 ayat (8) huruf a dan b, peraturan bahwa RJ dikecualikan untuk tindak pidana terkait kesusilaan dan diancam dengan ancaman pidana minimal, Pasal 4 ayat (1) huruf d dan e diagram penghentian penuntutan keadilan restorative dilakukan dengan memperhatikan respon dan keharmonisan masyarakat dan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

Ini juga bertentangan dengan Ketentuan Mahkamah Agung RI terkait dengan Restorative Justice yaitu peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP dan keputusan Direktur Jendral Badan Peradilan Umum MAhkamah Agung RI Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif yang menyebutkan perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan keadilan restorative adalah perkara tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya dibawah 5 tahun dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp 2.500.000,” tambah ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Mataram tersebut.

Menurut koalisi ini, jelas Nurul terkait adanya perdamaian antara tersangka dengan korban, tidak dapat menghentikan proses hukum karena ketentuan pasal yang diancamkan kepada tersangka AA seperti yang dikeluarkan dalam angka 2 diatas alah delik biasa dan penyidik tetap bias melakukan proses tanpa adanya persetujuan dari korban/pihak yang dirugikan.

“Bahwa dari ketentuan yang diuraikan dalam angka 3 diatas bahwa restorative justice tidak dapat dilaksanakan untuk tindak pidana terkait kekerasan seksual. Apalagi saat ini kasus terkait tindak pidana anak, kekerasan seksual terhadap anak semakin meningkat khususnya di NTB. Dalam Konsideran UU No 17 tahun 2016 tentang penetapan Perppu No 1 tahun 2016 tentang perubahan Kedua atas UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak menyebutkan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana,” tegas Nurul.

Selanjutnya Presiden RI, Ir Joko Widodo dalam rapat terbatas penanganan kasus kekerasan terhadap anak pada Jumat (08/01) menyampaikan bahwa pemerintah melakukan reformasi besar-besaran pada manajemen penanganan kasus kekerasan pada anak agar bisa dilakukan dengan cepat dan terintegrasi serta lebih komprehensif.

Proses penegakan hukum yang memberikan efek jera, terutama terkait dengan kasus pedofilia dan kekerasan seksual pada anak sangat penting diterapkan,” pungkas Nurul menutup penjelasan keterangan pers Koalisinya.

Tim Liputan : Husni Sese

Img 20240526 223458
Img 20240526 223458