Dirgantara7.com | Amnesty International menanggapi kematian setidaknya 130 orang setelah kerusuhan di Stadion Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur pada 1 Oktober 2022.
Dikutip dari laman Amnesty, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga para korban.
“Tidak ada yang harus kehilangan nyawa mereka di pertandingan sepak bola,” ujarnya, menanggapi aksi rusuh pasca-pertandingan Arema FC lawan Persebaya Surabaya itu.
Ammesty meminta pihak berwenang melakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan independen terhadap penggunaan gas air mata di stadion.
Mereka yang terbukti melakukan pelanggaran harus dipastikan diadili di pengadilan terbuka dan tidak hanya menerima sanksi internal atau administratif.
“Kami juga meminta polisi untuk meninjau kembali kebijakan penggunaan gas air mata dan ‘senjata yang tidak terlalu mematikan’ untuk memastikan bahwa tragedi memilukan seperti itu tidak pernah terjadi lagi,” ujar Usman.
“Hilangnya nyawa ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Polisi sendiri telah menyatakan bahwa kematian terjadi setelah polisi menggunakan gas air mata pada kerumunan yang mengakibatkan penyerbuan di pintu keluar stadion,” tambahnya.
Menurut Amnesty, gas air mata hanya boleh digunakan untuk membubarkan massa ketika kekerasan meluas dan metode lain gagal.
Orang-orang harus diperingatkan bahwa gas air mata akan digunakan dan dibiarkan menyebar.
Gas air mata juga tidak boleh ditembakkan di ruang terbatas.
Pedoman keselamatan stadion FIFA melarang membawa atau menggunakan gas pengendali massa oleh petugas lapangan atau polisi.
Kapolda Jawa Timur Inspektur Jenderal Nico Afinta mengatakan kepada pers bahwa gas air mata menyebabkan para pendukung menuju ke satu pintu keluar.
Selain 130 orang yang telah dilaporkan tewas, 180 lainnya terluka. 2 polisi juga dilaporkan tewas.
Komite Hak Asasi Manusia PBB dalam Komentar Umum 37 menjelaskan bahwa dalam semua kasus aturan penegakan hukum tentang penggunaan kekuatan harus dipatuhi dengan ketat.
Amnesty menegaskan bahwa penggunaan gas air mata hanya akan proporsional dalam menanggapi insiden kekerasan yang meluas, dan hanya jika metode lain untuk membubarkan massa telah atau akan gagal. (**)