JAKARTA, – Dirgantara7.com | Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengaku keberatan karena diminta menyetujui kesimpulan dalam Rapat Kerja di Komisi II DPR RI, Rabu (11/1/2023) bahwa pihaknya sepakat dengan sistem pemilu proporsional terbuka.
Kesimpulan terkait hal ini awalnya dimuat dalam poin 3 yang disodorkan oleh Komisi II.
Pada poin 3 kesimpulan rapat itu tertulis bahwa DPR, Mendagri, dan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu sepakat mengacu pada UU Pemilu, termasuk di dalamnya soal sistem proporsional terbuka.
Tito menganggap narasi ini menggiring opini seakan pemerintah pro terhadap sistem tertentu.
Ia menolaknya karena saat ini sedang ada judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sistem proporsional terbuka.
“Kami posisi pemerintah itu menghormati, tidak mau mendahului keputusan MK,” kata Tito di hadapan rapat, Rabu malam.
Tito menilai, bila nama Mendagri ikut dicantumkan dalam poin itu, hal tersebut akan dikesankan sebagai bentuk dukungan pemerintah.
Ia pun menegaskan posisi pemerintah yang tidak berpolitik dan menghormati lembaga lain yang juga memiliki kewenangan dalam berdemokrasi, dalam hal ini MK.
“Posisi pemerintah menyerahkan kepada MK dan juga kepada DPR. Jadi tidak meng-endorse salah satu, saya kira.
Jadi kalau ini, kami seolah sudah meng-endorse salah satu dan sepertinya kami mendahului MK,” kata Tito.
“Jadi apa pun yang diputuskan MK, pemerintah pada prinsipnya adalah patuh. Tapi tidak mendahului,” ujar dia.
Resistensi Tito dibalas dengan resistensi para anggota Komisi II DPR RI yang hampir semuanya bersikukuh bahwa narasi itu sudah tepat dengan beragam dalih.
Ada 8 dari 9 fraksi di DPR RI yang menolak sistem proporsional tertutup, sehingga dapat dipahami mengapa resistensi ini menular ke ruang rapat.
Ini membuat Rapat Kerja tersebut molor sekitar 2 jam.
Masalah beres ketika Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari setuju agar ditambahkan poin baru soal sistem proporsional terbuka yang pada intinya menegaskan dukungan KPU atas sistem ini.
Sebab, polemik menyeruak setelah Hasyim mengungkapkan soal adanya judicial review terhadap sistem proporsional terbuka di MK yang kemudian ditafsirkan berbagai kalangan sebagai bentuk dukungan lembaga penyelenggara pemilu itu atas sistem proporsional tertutup.
(Red)