Bogor,–Dirgantara7.com | Wali Kota Bogor, Bima Arya menjadi narasumber dalam video conference Percepatan Penerbitan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), yang diikuti oleh 75 kabupaten/kota dari 15 provinsi di Indonesia yang belum memiliki peraturan daerah (Perda) KTR.
Ia berbagi kisah sukses dan pesan kunci dalam implementasi KTR di Kota Bogor, untuk berbagai apa yang telah dilakukan dan sedang dilakukan dan terus akan dilakukan di Kota Bogor mengenai lima kunci tentang pengendalian tembakau.
Dalam kisah sukses dan pesan kunci dalam implementasi KTR di Kota Bogor Bima Arya menyampaikan lima pesan kunci yakni, kemauan politik, regulasi, implementasi, basis data yang kuat, kolaborasi dan jaringan.
Political will atau kemauan politik merupakan faktor yang menjadi dasar utama.
“Tidak hanya eksekutif tapi juga DPRD, jadi eksekutif dan legislatif harus kuat politiknya,” ujarnya di Balai Kota Bogor, Rabu (23/11/2022).
Selanjutnya adalah regulasi yang menjadi payung hukum harus memiliki poin-poin penting yang kuat, sehingga kata Bima Arya, Pemkot Bogor bersama DPRD merumuskan berbagai revisi dan mengawal serta terus melakukan evaluasi.
Dari sisi pengawasan, dan bentuk implementasi, Kota Bogor memiliki pasukan khusus yang tugas utamanya adalah berkeliling ke semua tempat.
“Pemukiman, warung, minimarket, ruang publik, instansi, ke semuanya yang ada dalam tim itu, polisi, jaksa, hakim, Satpol PP Dinkes, camat dan lurah. Jadi kalau ada yang ketahuan melanggar langsung kita denda,” tegasnya.
Faktor kunci yang keempat adalah database yang valid dengan melakukan survei untuk terus melakukan pemetaan rutin.
Selanjutnya, faktor kunci kelima, kata Bima Arya adalah kolaborasi dengan menggandeng tidak hanya instansi tapi juga komunitas, pemuda yang kemudian pihak tersebut menjadi garda terdepan.
“Kepala dinas akan berganti, wali kota juga akan berganti, makanya kita membuat pagar pengaman. Kami membangun jejaring kolaborasi tidak hanya dalam kota, tapi juga komunitas dan jaringan nasional hingga internasional,” ujarnya.
Sejak dibentuknya APCAT pada tahun 2016, di tahun 2017 Bima Arya dipilih menjadi ketua bersama dalam ketua wali kota anti tembakau se-asia pasifik.
“Ini membuat jejaring kami cukup luas, di asia pasifik ada negara negara yang keren yang kita berbicara tentang pengendalian tembakau,” jelasnya.
Selain lima faktor kunci, inovasi, edukasi dan sosialisasi harus dilakukan dengan berbagai cara, seperti langkah monumental yang dilakukan Kota Bogor dengan melakukan pembaharuan regulasi diantaranya adalah menerbitkan aturan pelarangan iklan rokok, display rokok, dan sebagainya.
“(Banyak yang mengkritisi) Kata mereka nanti akan drop PAD-nya. Tapi ternyata data menunjukan bahwa perda ini tidak berdampak pada penurunan PAD Kota Bogor. Sejak 2014 PAD Kota Bogor meningkat. Jadi rokok hilang yang lain datang,” ujarnya.
Selanjutnya adalah edukasi dan sosialisasi dengan cara yang inovatif, diantaranya Pemkot Bogor bersama Kejaksaan Negeri Kota Bogor melakukan demonstrasi menghancurkan iklan rokok di depan publik, memasang stiker dilarang merokok di kawasan tanpa rokok dan sarana transportasi umum, kampanye anti rokok secara menarik melibatkan anak-anak muda dengan membangun smoking stop generation.
“Kami juga meluncurkan aplikasi baru untuk masyarakat yang akan memilih cafe dan resto, hotel di Bogor yang jauh dan bebas dari asap rokok,” katanya.
Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono menyampaikan arahan dalam pengendalian konsumsi tembakau melalui regulasi KTR.
Ia menyebutkan, bahwa kegiatan ini sangat penting, karena mengingat situasional yang emergency dalam pengurangan jumlah konsumsi tembakau yang sudah menjadi mandatoring yang harus dilakukan untuk mencegah berbagai macam penyakit .
“Ini (pengendalian konsumsi tembakau) tidak bisa dilakukan secara eksklusif oleh Kemenkes saja, tapi harus secara inklusif oleh berbagai lembaga instansi dan komitmen, dari kepala daerah masing-masing, sehingga membentuk KTR menjadi salah satu ujung tombak untuk memberikan edukasi kepada masyarakat,” katanya.
Dari data yang dimiliki Kemenkes, kata Dante, enam dari 10 penyebab kematian tertinggi adalah penyakit tidak menular yang dipengaruhi oleh konsumsi rokok yang berada di posisi kedua dari penyebab kematian tersebut.
Pada survei yang dilakukan Kemenkes pada 2009 dan 2019 angka kematian tinggi ada pada stroke, ischemic heart disease, diabetes yang salah satu penyebabnya adalah mengkonsumsi yang berada di urutan tertinggi.
Tak hanya berimbas pada kematian, konsumsi rokok juga berdampak pada kerugian ekonomi makro yang mencapai tiga kali lipat dari jumlah penerimaan cukai rokok.
Dari data tahun 2017, jumlah penerimaan cukai yang diterima negara dari hasil konsumsi tembakau sebesar Rp 147,7 triliun, namun jumlah cukai tersebut tidak mencukupi untuk membayar kerugian ekonomi makro sebesar Rp 431,8 triliun.
“Jadi selisihnya banyak. Walaupun ada cukai-cukai tersebut tidak bisa membayar kerugian produktivitas 21 jenis penyakit yang berkaitan dengan konsumsi tembakau. Biaya medis, rawat inap pasien akibat sakit karena konsumsi tembakau, biaya medis rawat jalan pasien akibat tembakau dan jumlah total belanja rokok aktif sehingga kerugian ekonomi menjadi tiga kali lipat lebih tinggi dari penerimaan cukai,” katanya.
Untuk itu kata Dante, aturan KTR ini harus menjadi atensi bersama untuk diterapkan dan ditegakkan.
Dalam video conference, Direktur pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular, Kemenkes, Eva Susanti menyampaikan bahwa KTR ditetapkan dan diterapkan sebagai upaya pemerintah melindungi masyarakat dari paparan asap rokok untuk mendapatkan udara bersih dan sehat.
Sementara itu Direktur Produk Hukum Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Otda Kemendagri), Makmur Marbun menyampaikan terkait dasar hukum dan tahapan serta pentingnya pembuatan perda KTR, implementasi dan penegakan aturan.
(Gilang)