Dirgantara7.com |Sebuah unggahan video prank upaya penculikan anak SD, viral di media sosial pada Selasa (15/11/2022).
Dalam unggahan video tersebut tampak dua anak SD yang didekati pengendara sepeda motor dan perekam video tersebut menyebut akan menculik anak tersebut.
“Tak culik mau gak dek?” kata perekam yang diduga perempuan.
“Enggak mau!” jawab anak dalam video tersebut.
Setelah kedua anak tersebut lari sambil menangis, perekam dalam video tersebut terdengar tertawa.
Respons warganet
Sejumlah warganet menyebutkan bahwa dampak video tersebut bisa membuat anak trauma bertemu seseorang. Termasuk saat akan berangkat sekolah. Mereka jadi takut jika kemudian akan diculik.
“Sumpah gak ngerti lagi kenapa konten kayak gini masih berlanjut sampe sekarang si:( liat komenan disitu gatau bener apa engga ada kaka dari adik adik ini bilang kalo mereka jadi trauma dan selalu minta dianterin kalo berangkat sekolah,” tulis pengunggah dalam twitnya.
Selain itu, warganet lain menyebutkan bahwa anak yang menjadi korban itu trauma untuk ke sekolah lagi.
“Gara-gara konten prank mau menculik ini, anak-anak ini malah trauma untuk ke sekolah.
Sementara pelaku tertawa senang setelah ngontenin anak kecil ketakutan.
Semestinya pelaku di balik konten penculikan ini diseret ke polisi supaya terbuka matanya; mental anak bukan mainan,” tulis warganet ini.
Lalu, apa saja dampak yang terjadi jika orang dewasa melontarkan bercandaan yang tidak sesuai kepada anak-anak? Apakah trauma pada anak bisa dipulihkan?
Penjelasan psikolog
Psikolog anak dan keluarga Astrid WEN mengatakan bahwa tindakan yang ada di video tersebut termasuk prank atau candaan yang tidak menyenangkan.
Menurut dia, tindakan tersebut justru mengganggu keamanan anak dan berisiko memengaruhi rasa aman pada anak.
“Sebenarnya segala bentuk prank atau keisengan yang dilakukan kepada anak tapi mengganggu keamanan anak, berisiko mempengaruhi pada rasa aman anak tentu jangan dilakukan,” ujar Astrid, Selasa (15/11/2022).
Ia menambahkan, sebagai orang dewasa sebaiknya jangan menanamkan rasa takut atau rasa tidak aman pada anak.
Sebab, hal itu berdampak menjadi traumatis bagi anak.
Anak sudah paham arti “culik”
Dalam kasus video viral yang beredar, Astrid mengatakan, anak sudah memahami apa arti “culik” yang diucapkan oleh orang dewasa yang ada pada video.
“Ketika mereka dengar ‘culik’, mereka paham arti culik, dan ketakutan, dampaknya orang dewasa jadi menakuti anak, anak kehilangan rasa aman, dan itu enggak baik dilakukan,” ujar Astrid.
Kemudian, apa yang dilakukan oleh orang dewasa dalam video sudah termasuk dalam kekerasan emosional.
Sebab, dia memberi ancaman pada anak.
Oleh karena itu, ia mengimbau kepada orang dewasa untuk tidak melakukan candaan yang mengancam rasa aman anak.
“Jadi, betul-betul diperhatikan jika bercanda kepada anak, ucapan kita, perkataan kita, karena memiliki pengaruh pada konsep diri anak,” kata dia.
*Apakah anak yang trauma bisa pulih?*
Sementara itu, Astrid menambahkan, anak yang menjadi korban kekerasan emosional biasanya merasa cemas dan muncul tingkah laku ketakutan.
Ia pun mengimbau kepada orangtua untuk menyadari perilaku ini dan segera mengembalikan situasi yang aman bagi anak.
“Kita harus mengembalikan situasi yang aman lagi dengan orang-orang dewasa di sekitar dia yang biasa memberikan rasa aman, misal orangtua, kakek-nenek, tetangga, dan lainnya,” ujar Astrid.
Selain itu, orangtua juga bisa memberikan rasa aman dengan memvalidasi rasa emosi anak atau mencoba mengerti rasa takut yang dirasakan anak.
Misalnya, dengan memberikan jeda waktu 2 hari setelah kejadian, menemani anak, dan perlahan-lahan mengembalikan kondisi anak seperti kondisi semua.
“Jadi, kembali diingatkan bahwa ini lingkungan yang aman, sudah benar sekali kamu lari, kamu pasti rasanya enggak enak, kamu jadi ketakutan,” ujar Astrid.
“Ada validasi seperti itu, dan orang luar perlu menerima, dan untuk sementara waktu anak akan mengalami goncangan emosi seperti itu, dan orangtua perlu menerima,” lanjut dia.
Namun, orangtua sebaiknya tidak melakukan tindakan yang menyalahi sikap anak ketika ketakutan.
Astrid menjelaskan, menyalahi tindakan anak yang ketakutan justru akan mengecilkan anak, dan anak menjadi tidak pulih dari ancaman rasa takut tersebut.
Kemudian, hal lain yang sebaiknya tidak dilakukan oleh orangtua yakni menjadi over-protectif atau melarang anak pergi ke beberapa tempat yang sebetulnya dia bisa eksplorasi.
“Jangan menjadi over-protectif, jadi enggak memberdayakan anak, jadi kita ikutan takut terus, akhirnya tidak menjadi membesarkan kemandirian anak dan justru mengecilkan tempat eskplorasi anak,” ucap Astrid.
Selain itu, Astrid berpesan, orangtua sangat diperbolehkan untuk mencari pelaku kekerasa emosional pada anak dan memberi peringatan.
Orangtua bisa menjelaskan kepada pelaku bahwa yang dilakukannya membuat anaknya ketakutan dan bukan merupakan bahan candaan, mengancam anak itu adalah hal serius.
“Jadi orang dewasa boleh mengajarkan orang dewasa lain, karena kita kan lagi buat lingkungan yang aman,” kata dia.
(*)