Scroll untuk baca artikel
Example 728x250
BeritaormasHukumPemerintahan

Kemenag Terbitkan Aturan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan, Ini Bentuk Pelanggarannya !

buserdirgantara7
239
×

Kemenag Terbitkan Aturan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan, Ini Bentuk Pelanggarannya !

Sebarkan artikel ini
Screenshot 2022 10 18 13 00 15 34

Jakarta, – Dirgantara7.com | Kementerian Agama (Kemenag) menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada 5 Oktober 2022.

PMA Terbaru ini mengatur tentang upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kementerian Agama yang meliputi jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, baik itu madrasah, pesantren, maupun satuan pendidikan keagamaan.

Setelah ditandatangani oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Oktober 2022, Juru Bicara (Jubir) Kemenag Anna Hasbie mengatakan bahwa aturan tersebut mulai diundangkan sehari setelahnya, 6 Oktober 2022.

“Setelah melalui proses diskusi panjang, kita bersyukur PMA tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama akhirnya terbit dan sudah diundangkan per 6 Oktober 2022,” terangnya, dikutip dari laman resmi Kemenag.

PMA ini terdiri atas tujuh bab, yaitu: ketentuan umum; bentuk kekerasan seksual; pencegahan; penanganan; pelaporan, pemantauan, dan evaluasi; sanksi; dan ketentuan penutup.

Bentuk kekerasan seksual

Tak hanya mengatur soal upaya pencegahan dan penanganan, PMA terbaru ini juga mengatur bentuk kekerasan seksual baik secara verbal, nonfisik, fisik, maupun melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Anna mengatakan, ada 16 klasifikasi bentuk kekerasan seksual yang diatur, seperti menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual.

“Termasuk juga menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman,” terangnya.

Berikut 16 bentuk kekerasan seksual dalam PMA terbaru pasal 5 poin 2:

• Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.

• Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau yang bernuansa seksual pada korban.

• Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, mengancam, atau memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.

• Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman.

• Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi.

• Memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja.

• Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban.

• Melakukan percobaan perkosaan.

• Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.

• Mempratikkan budaya yang bernuansa kekerasan seksual.

• Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.

• Membiarkan terjadinya kekerasan seksual.

• Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.

• Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.

• Mengambil, merekam, mengunggah, mengedarkan foto, rekaman audio, dan/atau visual korban yang bernuansa seksual.

• Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi pelanggaran pelecehan seksual
Anna mengatakan, bagi pelaku di satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama yang terbukti melakukan pelanggaran bentuk-bentuk kekerasan seksual di atas akan mendapatkan sanksi.

“Terkait sanksi, PMA ini mengatur bahwa pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dikenakan sanksi pidana dan sanksi administrasi,” tandas Anna.

Sanksi pelanggaran tersebut diatur dalam Pasal 18 PMA, yang tertulis sebagai berikut:

(1) Pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif.

(2) Sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Dalam hal pelaku kekerasan seksual berstatus sebagai PNS, pengenaan sanksi adminitratif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai disiplin PNS.

(4) Dalam hal pelaku kekerasan seksual berstatus bukan PNS, pengenaan sanksi administratif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh penyelenggaran satuan pendidikan.

Adapun bagi satuan pendidikan yang tidak melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual juga dapat dikenai sanksi administratif mulai dari teguran lisan, peringatan tertulis, hingga pencabutan izin penyelenggaraan satuan pendidikan.

(*)

Img 20240526 223458
Img 20240526 223458